Oleh Muhammadun. S. Sos
Setiap kali kepala daerah berganti, ritual mahal pun dimulai. Bukan doa syukur atau konsolidasi program kerja, melainkan pengadaan mobil dinas baru. Tak tanggung-tanggung, harganya bisa menembus miliaran rupiah lengkap dengan alasan klasik: “untuk menunjang mobilitas dan kinerja.”
Namun rakyat sudah paham: yang diganti bukan semangat kerjanya, melainkan rodanya. Sementara wajah kemiskinan, pelayanan publik yang amburadul, dan infrastruktur yang terbengkalai tetap menjadi pemandangan sehari-hari.
Tradisi mengganti mobil dinas setiap pergantian kepala daerah adalah bentuk nyata dari mental feodal yang bersembunyi di balik jas birokrasi. Dalam logika pejabat seperti ini, jabatan bukanlah amanah, melainkan kesempatan untuk mempertebal gengsi. Mobil dinas pun bukan sekadar alat kerja, melainkan simbol kekuasaan bukti visual bahwa seseorang kini “berkuasa.”
Padahal, tak ada satu pun rakyat yang akan menilai kinerja kepala daerah dari jenis mobil yang ia kendarai. Rakyat menilai dari jalan rusak yang tak diperbaiki, rumah sakit yang kekurangan obat, sekolah reyot yang dibiarkan lapuk. Tapi anehnya, yang selalu jadi prioritas justru yang berkilau di parkiran, bukan yang berlubang di jalanan.
Setiap rupiah yang dikeluarkan untuk kemewahan pejabat sejatinya adalah uang rakyat. Uang yang dikumpulkan dari pajak, dari peluh para pedagang kecil, dari potongan penghasilan buruh, dari retribusi pedagang kaki lima yang bahkan tak punya tempat layak berjualan. Namun begitu sampai di meja kekuasaan, uang itu menjelma menjadi mobil dinas, bukan ambulans; menjadi mobil pejabat, bukan perbaikan puskesmas.
Lebih ironis lagi, pejabat kerap membungkus pemborosan ini dengan bahasa manis: “ini kebutuhan dinas,” “demi efisiensi,” “kendaraan lama sudah tak layak.” Tapi jika ditelusuri, kendaraan lama itu sering kali masih berfungsi baik hanya saja, tak cukup bergengsi bagi pemilik jabatan baru.
Kita sedang berhadapan dengan budaya politik simbolik, di mana citra lebih penting dari substansi. Seolah yang menentukan wibawa pejabat adalah merek mobil, bukan kualitas keputusan. Ini bukan sekadar pemborosan anggaran, tapi juga penghinaan terhadap akal sehat publik.
Sudah seharusnya kita bertanya: kapan pejabat daerah mau menunjukkan kesederhanaan yang tulus, bukan pencitraan murahan? Kapan kepala daerah berani menolak mobil baru dan memilih menggunakan anggaran itu untuk memperbaiki sekolah atau menambah beasiswa anak miskin?
Pergantian kepala daerah semestinya berarti pergantian arah kebijakan, bukan sekadar pergantian roda kendaraan. Yang seharusnya diperbarui bukan mobilnya, tapi mentalitasnya dari mental penguasa menjadi pelayan publik sejati.
Sebab selama kemewahan masih dianggap hak jabatan, bukan beban moral, maka roda-roda mobil dinas mewah itu sejatinya berputar di atas penderitaan rakyat yang membiayainya.***
#Mobil dinas Pejabat #Mobil dinas Kepala Daerah